Pada masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jakarta adalah bagian dari Kerajaan Sunda. Kota ini dikenal dengan nama Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan utama yang strategis di pesisir barat Pulau Jawa. Sunda Kelapa memiliki peran penting sebagai pusat perdagangan yang ramai, di mana para pedagang dari berbagai belahan dunia seperti Arab, Cina, dan India datang untuk berdagang rempah-rempah, tekstil, dan emas.
Pada tahun 1527, kota Sunda Kelapa direbut oleh pasukan Kesultanan Demak di bawah pimpinan Fatahillah. Penaklukan ini mengakhiri dominasi Portugis di daerah tersebut dan mengubah nama kota menjadi Jayakarta, yang berarti "kemenangan sempurna". Nama ini mencerminkan kemenangan atas penjajah asing dan simbol kemajuan bagi kota tersebut. Jayakarta kemudian berkembang menjadi kota pelabuhan yang sangat penting di wilayah ini, berperan sebagai pusat perdagangan dan kegiatan ekonomi.
Masuknya Belanda ke Batavia terjadi pada awal abad ke-17, saat mereka mulai tertarik dengan wilayah Jayakarta karena letaknya yang strategis dan kekayaan alamnya, khususnya rempah-rempah. Pada tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen, pemimpin Belanda, menyerang dan menghancurkan Jayakarta. Setelah menguasai wilayah ini, Belanda membangun kota baru di atas puing-puing Jayakarta yang diberi nama Batavia. Kota Batavia kemudian menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan Belanda di Asia.
Pemerintah kolonial Belanda membangun infrastruktur yang signifikan di Batavia, termasuk benteng, gedung pemerintahan, dan jalan raya, menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan utama yang menghubungkan Eropa dan Asia. Selama abad ke-17 dan ke-18, Batavia dikelola oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Hindia Timur Belanda. VOC memiliki kekuasaan besar dalam perdagangan, politik, dan militer. Di bawah pengelolaan VOC, Batavia berkembang pesat sebagai pusat perdagangan rempah-rempah terbesar di Asia Tenggara.
Namun, meski Batavia mengalami perkembangan pesat, kota ini juga menghadapi berbagai masalah kesehatan. Iklim tropis dan sistem sanitasi yang buruk menyebabkan berbagai wabah penyakit seperti malaria dan kolera. Banyak penduduk, baik warga lokal maupun pendatang, meninggal dunia akibat penyakit ini. Kota ini bahkan dijuluki "kuburan orang Eropa" karena tingginya angka kematian di kalangan orang Eropa yang tinggal di sana.
Memasuki awal abad ke-19, VOC mengalami kebangkrutan akibat korupsi dan persaingan dagang yang ketat. Pemerintah Belanda kemudian mengambil alih kekuasaan VOC di Hindia Timur, termasuk Batavia. Selama periode ini, Batavia terus berkembang sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, dengan pengaruh budaya Eropa yang kian terasa. Banyak bangunan bergaya arsitektur Eropa dibangun, dan sistem pemerintahan serta hukum yang diterapkan juga mengikuti model Eropa. Selain itu, penduduk Batavia semakin beragam dengan adanya imigran dari berbagai negara, termasuk Cina, Arab, dan India, yang turut membentuk keragaman budaya di kota ini.
Namun, penduduk pribumi sering mengalami penindasan di bawah kolonialisme Belanda. Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) memaksa penduduk lokal menanam komoditas untuk diekspor, seperti kopi, teh, dan tebu, demi keuntungan pemerintah kolonial. Sistem ini menyebabkan kemiskinan dan penderitaan bagi penduduk lokal.
Dengan pecahnya Perang Dunia II, Hindia Belanda termasuk Batavia jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942. Pendudukan Jepang membawa perubahan besar, salah satunya adalah pergantian nama Batavia menjadi Jakarta. Nama Jakarta diambil dari Jayakarta, nama kota sebelumnya sebelum dikuasai oleh Belanda. Selama pendudukan Jepang, banyak infrastruktur yang rusak dan penduduk Batavia mengalami kesulitan ekonomi. Namun, pendudukan Jepang juga membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan penduduk lokal. Jepang memberikan pelatihan militer kepada pemuda Indonesia, yang kemudian memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Jakarta, sebagai bekas Batavia, dipilih sebagai ibu kota negara Indonesia. Dalam perannya sebagai ibu kota, Jakarta menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya negara yang baru merdeka ini. Pasca-kemerdekaan, Jakarta mengalami perkembangan pesat dengan berbagai pembangunan untuk memperbaiki infrastruktur kota yang rusak akibat perang dan pendudukan Jepang. Pertambahan jumlah penduduk yang signifikan menjadikan Jakarta salah satu kota terbesar di Asia Tenggara.
Sejak menjadi ibu kota Indonesia, Jakarta telah mengalami banyak perubahan dan modernisasi. Kota ini kini merupakan pusat bisnis, pemerintahan, dan pendidikan di Indonesia. Gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan perumahan modern terus bermunculan di seluruh kota. Meskipun demikian, Jakarta menghadapi banyak tantangan, seperti kemacetan lalu lintas, banjir, dan masalah lingkungan. Ketimpangan sosial juga menjadi masalah utama, dengan perbedaan mencolok antara kawasan elit dan kawasan kumuh.
Namun, Jakarta tetap menjadi pusat kebudayaan dan ekonomi yang penting di Indonesia. Dengan beragam suku, budaya, dan agama, Jakarta mencerminkan keberagaman bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kota ini terus beradaptasi dan berkembang untuk menghadapi tantangan baru di abad ke-21.